Putri

Putri

Buku Pertama

Copyright Putu Wijaya

 

Terbit petama kali dalam bentuk buku pada 2004 (September) oleh

PT Pustaka Utama Grafiti

Jl. K.H. Wahid Hasyim No. 166 A

Jakarta 10250

 

Terbitan No. 439/04

Editor naskah Rahma Asa Harun

Perancang sampul Edi R.M

Tata letak Joko Sudarsono

 

Karya sastra yang megambil latar tradisi belakangan ini menarik perhatian gue. Dari beberapa buku yang gue baca, bisa dikategorikan ke dalam karya yang baik dan juga buruk. Eer Ashura dengan Toenggoel-nya dan Putri hasil goresan Putu Wijaya merupakan karya yang berkategori baik. Keduanya menggambarkan pemberontakan terhadap tradisi yang dianut sekelompok masyarakat secara membabi-buta. Perbedaannya hanya pada tokoh utama; Toenggoel seorang lelaki sedangkan Putri perempuan. Atribut alamiah tersebut juga berpengaruh kepada alur cerita, keberpihakan pengarang terhadap gender yang dibungkus dalam pikiran pemberontakan pengarangnya biarpun masing-masing juga memiliki sisi unik.

Lepas dari nama besar Putu Wijaya, saat gue baca Putri bertepatan dengan saat ia menerima Anugerah kebudayaan, Putri seolah menelanjangi kemanusiaan gue. Hampir di tiap kalimat buku ini mendeskripsikan sifat alami manusia. Hal ini tentu membutuhkan imajinasi yang lengkap pengarang, ditambah pengalaman dan idealisme. Tak mudah meramu cerita yang memasukkan unsur kebudayaan dan kemanusiaan walaupun dua hal tersebut berkaitan tak terpisahkan. Beberapa pengarang pemula bahkan terjebak pada keberpihakan hanya pada salah satunya yang berakibat satu buku jadi garing, kering, susah dicerna kecuali hanya sebagai pemenuhan ego pengarangnya untuk didengarkan. Putu wijaya berhasil dengan sangat baik mengerjakannya, paling tidak pada Putri.

Putri adalah personifikasi Putu terhadap manusia berfikiran maju, yang terkekang hasrat untuk apakah memberhalakan kearifan masa lalu atau memberikan reinterpretasi untuk mereposisinya sesuai keadaan dan tempat-waktu. Putri anak seorang Pemangku, jabatan adat-keagamaan di masyarakat Bali. Terlahir sebagai anak sulung, putri merasa mempunyai kewajiban memperbaiki keadaan. Dia berkesempatan kuliah, sesuatu yang aneh di kampungnya, sekaligus prestise yang teramat langka dimana penduduknya hanya berkutat di sekitar sawah, puri dan rumah. Ramuan cinta dan idealisme seorang yang baru lulus kuliah begitu kental. Kenyataan di alam nyata sangat bertentangan dengan pengetahuan yang diajarkan di bangku kuliah. Putu menggugat institusi keilmuan sebagai “kita mempelajari pengetahuan masa lalu yang tertumpuk di buku-buku teks kuliah, yang menumpuk berselimut sarang laba-laba di perpustakaan”. Pandangan yang sesuai dengan pandangan gue selama ini.

Sebagai perempuan, putri tak lepas dari kelemahan gender-nya. Personifikasi mahkluk yang lemah secara fisik di gambarkan putu dalam fragmen putri yang nyaris diperkosa sepupunya sendiri. Bagaimanapun seorang perempuan, putri juga membutuhkan kehangatan cinta. Beberapa kali ia hanyut dalam mimpi erotis hingga seorang laki-laki yang pandai mempermainkan perempuan leluasa memanfaatkan kelemahannya. Diantara idealisme masalah-masalah besar bangsa yang dipikirkan putri sebagai kewajiban untuk memperbaikinya, terselip hasrat mencintai dan dicintai suci. Pikiran seorang putri yang terbentuk sistematis saat kuliah membuatnya memandang persoalan secara kuantitatif. Sebuah masalah kecil bisa jadi terurai panjang sampai akhirnya dia sadar tidak setiap persoalan serumit yang sederhana. Menara gading universitas ternyata sangat meng-indoktrinasi seseorang untuk berpikir sistematis, sehingga sesuatu yang kualitatif menjadi bisa di terjemahkan dengan angka. Sayangnya gue Cuma baca buku pertama. Hingga rasanya tak puas memperhatikan bagaimana putu melihat tradisi harus diperlakukan. Buku pertama ini berahkhir nanggung. Tapi, itu sudah cukup untuk menyadari beberapa hal penting.

PLA gue

Prodi mengharuskan mahasiswa yang tercatat di buku mereka untuk Praktek Latihan Akademik di semester 8. udah lama gw nunggu kesempatan ini, suasana pekerjaan yang sesungguhnya. Tentu banyak hal baru yang bakal terjadi; orang-orang baru, tempat baru, pengalaman baru.

Gw keterima di PLN ternyata. Hari pertama masuk, dapet gawe ngetik. Si bapak gak berperasaan itu gak bilang sampai halaman berapa yang harus gw ketik. 3 hari baru kelar, 184 halaman. Menyedihkan!!! Hari pertama juga dapet kenalan baru anak Unpad, namanya Ririn. dia sebenarnya sedang dalam proses nyusun TA, tapi gw bingung kok kayaknya tenang aja pas ditanya topik TA-nya apa. Belum judul malah. Trus dari omong-omong gak jelas, gw jadi tahu persepsi kebanyakan orang luar atas UPI, almamater gw. Kumuh, dipenuhi perempuan berkerudung juga administrasi akademik yang beribet plus bikin lieur mahasiswanya. Gak salah memang, gw sendiri agak meragukan kapasitas kuantitatif yang dimiliki UPI untuk menyelenggarakan pendidikan dengan standar baik bagi mahasiswanya. Tapi, sejauh ini gw puas di tempat itu. Terlebih gw bisa ngerasain suasana diskusi yang segar, seru, menuntut daya pikir kekinian yang berkualitas, serta kemampuan menganalisis masalah. Sesuatu yang gak yakin bakal bisa gw temui di ruang-ruang kuliah ber tegel keramik dan dipenuhi perempuan-perempuan bertubuh lebih bagus dari kepribadiannya. Kita sering berdiskusi di pojok gedung prodi, yang mirip gudang karena berserakan alat-alat gak kepakai. Toh, gak mengurangi minat untuk menuntut ilmu.

Lagi pula Ririn pernah bilang pengen cepat-cepat lulus, trus kerja dan menghasilkan uang. Kuliah kan ngabisin duit, katanya lagi. Bukankah itu bertolak belakang dengan pernyataannya bahwa “unpad lebih baik dari UPI dari segi sistem akademik plus pergaulan mahasiswanya”. Apa tempat sebagus tempat kuliahnya tak memberikan pemahaman bahwa kuliah bukan Cuma gaul dan dapet nilai bagus ? ada banyak variabel yang menentukan sebuah institusi pendidikan jadi sedemikian terpuruk karena berhasil menanamkan sudut pandang seperti yang Ririn punya. Ada banyak Ririn di luar sana yang berpikiran sama. Apa jadinya bangsa ini jika pendidikan selalu dikaitkan dengan uang ? bahwa kita kuliah adalah investasi untuk dunia kerja. Apa sisi kehidupan tak tergariskan di benak mahasiswa saat kuliah ? mengapa banyak yang beranggapan “kuliah gw harus mampu bikin gw kerja dengan gaji gede” ? hah…

a pledoi

Manusia tak berada didalam waktu, tetapi secara ontologis manusia mewaktu, historikal. Gw adalah satu manusia dalam pengertian tersebut.

Masa kini mengandaikan masa lalu dan masa datang. Pengalaman yang pernah kita hadapi (atau yang pernah gw jalani) memang terjadi dimasa yang dimata orang-orang telah terlewati, namun pengalaman selalu mencakup masa kini yang tak terbatas dan masa datang yang terbuka lebar. Setiap kini menggenggam yang sudah, pun masa depan yang masih akan datang.

Pengalaman bagi gw adalah suatu bagian, suatu yang tak terpisahkan dari keseluruhan proses yang dinamakan hidup dan kehidupan. Menceritakan, menuliskan kembali beberapa (yang gw anggap paling berarti dalam mempengaruhi gerak langkah gw dalam hidup di masa kini dan mungkin dimasa yang akan datang) pengalaman yang pernah gw alami di kertas ini, gak gw maksudkan untuk membenarkan, meluruskan atau mempengaruhi yang ngebaca untuk mengambil sesuatu kesimpulan bahwa gw benar-benar ngelakuin itu semua. Gw hanya nyoba menjelaskan, menerangkan dan mengarahkan pemabaca kepada suatu jalur yang gw sebut pemahaman. Gw tekankan bahwa jika saja orang-orang itu menganggap gw salah, gw keliru, itu karena pemahaman tentang sesuatu antara lo dan gw berbeda, gak sama.

Pemahaman bukan kegiatan berpikir saja, tetapi pemindahan, meletakkan diri dalam situasi / dunia seorang lain (dalam hal ini pemikiran perspektif gw). Dalam pemahaman yang benar, seseorang haruslah seolah-olah mengalami kembali situasi / dunia yang dijumpai pribadi lain dalam erlebnis, pengalaman yang terhayati. Pikiran orang lain tidak bisa diketahui dengan cara yang tepat, sama seperti jika lo2 pada mengetahui pikiran lo sendiri dan juga gak lo ketahui dengan cara yang sama jika lo mengetahui benda-benda yang nyata.

Bilamana seseorang memahami sesuatu, hal itu terjadi secara analogi yakni dengan jalan membandingkannya dengan sesuatu yang sudah diketahuinya. So, mungkin saja yang lo pahami tetang yang pernah gw lakuin dan lo anggap itu suatu yang salah, lo ambil dari hasil membandingkan dengan kejadian, peristiwa yang pernah lo alamin.

Apa yang lo ketahui adalah hanya kesan-kesan lo sendiri atau hanya kesan-kesan logis yang bersandar pada konseptualisasi statis: vere loqui (bicara benar)  hanyalah recte loqui (bicara lurus sesuai batas-batas). Gw memahami gak lewat penglihatan langsung terhadap urutan yang jelas dan wajar dari suatu peristiwa yang pernah gw alamin.

Gw memahami banyak peristiwa dengan banyak alat, salah satunya dengan ekspresi-ekspresi yang dia ungkap, yang dia berikan secara langsung atau gak langsung. Pandangan tetang uatu ekspresi membangkitkan dalam diri gw suatu realitas kehidupan yang punya gw, tetapi juga bukan punya gw. Punya gw karena berada didalam kesadaran gw serta gw kenal kualitasnya, dan bukan punya gw karena hal tersebut adalah tanggapan seseorang lain terhadap situasi dimana ia terlibat dan gw tidak. Gw mampu mengerti itu karena setiap ekspresi terungkap selalu menurut kerangka eksplisitasi kodrat manusia yang sama, kayak gw, lo dan manusia lain  yang ada di dunia yang sama dengan kita.

Sering terjadi ekspresi mengungkapkan hal-hal yang tertanam dalam-dalam dibawah tingkat kesadaran kita yang biasa sehingga apa yang kita pikirkan atau rasakan baru untuk pertama kali terbuka bagi kita melalui hal yang kita katakan atau kerjakan. So, definisi / asumsi serupa juga juga berlaku bagi dia karena toh dia juga manusia. Memahami bukanlah suatu kegiatan intelektual, tetapi suatu kegiatan imajinatif. Proses imajinatif pemahamanlah yang memberi hidup dan arti pada kehidupan ini; kehidupan gw, lo dan juga manusia lain di bumi yang kita pijak.

Kita mengenal diri sendiri tidak lewat instropeksi, tetapi lewat sejarah, lewat peristiwa-peristiwa, lewat pengalaman-pengalaman yang telah dan pernah secara pasti kita alami. Dalam rangka usaha membuat pengalaman berartri maka secara sadar kita menafsirkan hidup ini (peristiwa, hal-hal yang terungkap yang kita tak terlibat didalamnya, yang kita tak mengetahuinya karena sempitnya kungkungan pikiran oleh prasangka) secara sadar dan sengaja. Kita hidup dan bergerak bukan didalam suatu dunia yang berdiri sendiri, yang diabstraksikan dari manusia. Tetapi kita juga gak berada didalam diri pribadi dan diabstrakasikan dari manusia. Tetapi kita juga gak berada diantara masa lalu, kini dan masa yang akan datang dalam konteks tertentu dan belum final. Yang gw pahami tetang dia (dan yang lo keliru memahaminya) gak Cuma terarah pada peristiwa yang tampak dan tampilnya kenyataan lewat pikiran atau bahasa yang secara de facto tidak pernah selesai atau final, tetapi terpusat pada memikirkan kesesuaian antara tindakan-tindakan dia yang real (yang dia lakukan bareng gw dan lo sudah cukup ngerti, mungkin) dan hal-hal yang gak dia ungkapkan lewat kata-kata (yang lo gak tau tapi gw tau) yang hakikatnya senantiasa berbeda. So, lo harus sanggup melihat kenyataan tanpa menjadi bagian dari kenyataan tanpa menjadi bagian dari kenyataan itu.

Kalo lo ingin menghampiri kenyataan secara tidak memihak, maka proses kerjanya adalah lewat induksi/menyuling memilah-milah keseragaman dari kenyataan kemudian mengungkapkannya kedalam konsepsi dan preposisi-preposisi teoritis yang lo anut dan pahami. Pikiran hanyalah sebuah aspek kenyataan hidup, akar objektifitas berada dalam kehendak, bukannya di dalam pikiran. Kebenaran bagaimanapun adalah suatu peristiwa, maka hakekatnya terbatas, tidak lengkap dan bersifat sementara yang tidak pernah dapat definitif, tidak pernah dapat memberi kata akhir. Kebenaran adalah kekeliruan yang tak terbantah.

Hidup dialami begitu langsung, sehingga belum memunculkan masalah pembedaan subjek dan objek, pemilahan antara realitas dan ketidaknyataan. Hidup mesti ditangkap dari pengalaman manusia itu sendiri dalam kategori interpretasi diri, bukan dalam teori tahu dan pengetahuan yang bersifat ilmiah-faktual apalagi jika hanya didasari prasangka. Bagi mereka yang maunya berpikir logis, proses seperti yang gw paparkan diatas merupakan suatu misteri, suatu penghinaan karena gak dapat dibuktikan. Namun agaknya terlupakan bahwa memang tidak semua hal dapat dibuktikan, tetapi kepastiannya gak diragukan.

Kenyataan yang lo pengen ketahui, tidak akan bisa diperoleh lewat kegiatan rekonstruksi menciptakan atau mengembalikan yang asli, yang real, yang nyata dan pernah tercatat waktu, tetapi dengan menyatukan diri ke dalam kenyataan itu sendiri.

Semoga waktu gak Cuma mampu ngebuka mata hati lo secara bertahap, gak hanya mengusir prasangka buruk lo ke gw, tetapi juga memungkinkan lo sanggup melihat yang sebenarnya, benar-benar yang sebenarnya.

Biarlah gw dan dunia gw tetap dalam rahasia. Gw bakal jadi apapun seperti apa yang lo pikirkan tetang gw. Karena gw datang dengan rahasia, ngejalani kehidupan dengan rahasia dan merahasiakan kehidupan gw. Hal teresebut gw lakukan untuk menutupi langkah, untuk lari dari mereka, dari kehidupan gw yang dulu, dari dhaya…

Pak Harto telah kembali…

Sejak 4 januari lalu, mantan orang nomor satu dan terkuat di Indonesia selama hampir 33 tahun dirawat di rumah sakit yang didirikannya, RSPP. Lewat layar televisi, tergambar guratan kelelahan di wajah itu. Orang-orang besar datang dan pergi di tiap abad. Manusia-manusia lemah sebenarnya mereka itu. Kumpulan dukungan yang lahir dari kharisma, sesuatu yang membedakan orang-orang besar dengan yang lebih kecil, adalah kekuatan yang tak hingga kecuali di hentikan pemilik-Nya. Usia tak akan menunggu lebih lama, juga lebih cepat. Masing-masing punya batas. Hari ini, pukul 13.10 minggu 27 januari 2008 bangsa ini kehilangan bapaknya yang pernah membuat indonesia di hormati dunia. Saling tuding atas kesalahan yang dibuatnya tak pernah habis, bagian dari sejarah hidup manusia. Sepantasnya kita memberikan tundukan kepala mengheningkan cipta, merenungkan apa yang telah dia berikan. Maaf adalah kata mudah diucapkan, tapi keluarkan dengan hati untuk dia. Satu generasi hidup dari jerih payahnya, lepaskan pandangan kita telah ditipunya. Tak ada yang lebih hebat dari seorang manusia selain berbuat kebaikan dengan sesamanya. Hentikan teriakan-teriakan sombong menghujat. Maafkan dia…..

Hari ini senja berbeda..

Tiap tahun, aku menyempatkan diri mengenang waktu yang telah lewat. Waktu yang tak terlupakan, masa yang tak tersilamkan oleh detik-detik nafasku.

Hari ini adalah hari istimewa tersebut. Tiap jam yang menghantui langkah dengan senyuman bunga itu. Dengan harum nafas memburu terbakar amarah dan rindu dalam.

Aku tak pernah sungguh-sungguh kuasa menghilangkan dia dari hidupku. Apa yang membuat seorang laki-laki bisa pergi tak terkembalikan ?

            Dahulu aku pernah mendengar cerita yang sekarang terjadi sama aku.

Seorang laki-laki saat bangun pagi melihat seekor elang nan cantik terbang melintasi kepalanya. Dia kemudian mengikuti sang elang kemanapun ia terbang, meninggalkan anak istri dan segala harta benda yang dia punyai. Saat telah meninggal dan sama-sama di akhirat, ia ditanya istrinya “kenapa kamu meninggalkan kami ?”. Jawab lelaki itu: “karena elangnya terus terbang.”

Aku telah menjadi pengikut elang. Aku menemukan seekor yang memikatku sedemikian rupa hingga tak ingat lagi apa yang telah dan akan kuperbuat. Aku telah hidup dalam bayang-bayang.

            Gashvi, elang itu. Tubuhnya memang tak lagi punya sayap gemerlapan seperti dulu. Kilau tajam tatapannya tak juga didekatku kini. Tapi bayangan terbangnya begitu mengikatku, teramat erat. Kadang akal sehatku mengatakan “ kamu akan terus hidup kedepan dengan benda-benda yang nyata, bukan bersama harum bunga yang tak berbentuk”. Ya, aku mengerti. Hanya saja bagiku wujud bunga gak lebih berarti dari harumnya. Jika kau mengingat kelopak kau akan segera melupakannya. Namun kalau wanginya yang terendap di hati, kau tak kan pernah kehilangan bentuknya.

            Hari ini, Gashvi berulang tahun ke sembilan belas. Ulang tahun keempat yang kurayakan sendiri disini. Tanpa tawanya, tidak senyumnya, apalagi tatap pedangnya. Hari terakhir aku melihatnya adalah saat rintik hujan mengiringi tubuhnya pergi. Kepergian yang kurasakan setimpal dengan kepergian Dhaya. Jauh dan suram. Seolah kabut menyelimutiku seketika tanpa memberi kesempatan membuka mata.

            Dengan bayangan Gashvi, aku merangkai hidup kini dan nanti. Aku tak menyesali kepergiannya. Kepergian Gashvi telah mengajarkan banyak hal berarti untukku. Dengan kehilangannya aku hidup, aku tak tahu apa yang terjadi jika sebaliknya. Hidup setelah kehilangan Gashvi kurasakan lebih penuh warna. Walaupun pelangi ditinggal enam bidadari, aku masih dan akan selamanya memiliki bidadari lainnya: semangat hidup yang ditinggalkan Gashvi untukku.

Happy Birthday Gashvi, where ever you are…..senja di tiap hari ku…